Selasa, 18 Oktober 2011

lelaki senja

Semburan merah senja berkilauan di ujung cakrawala menghiasi ruang imajinasiku. Pantulan sinar itu mencairkan segala sesal dan permasalahan. Entah kenapa tak sempat terfikir olehku sebelumnya. Betapa indah menyaksikan mentari senja yang tenggelam. Hari-hariku dipenuhi keluh-kesah, puing kesibukan yang menbosankan. Setiap serpihnya tak elok untuk diceritakan. Pekerjaanku sebagai kasir swalayan cukup mensita waktuku dari pagi hingga senja, senja hingga malam.
Hidup di kota memang tak semanis cerita di desa. Meski didesa dulu bapak bekerja sebagai buruh sawah, aku tak sengsara. Kasih sayang bagiku cukup membuatku bahagia. Tapi, kebagiaan lambat laun pudar termakan waktu. Ibuku sakit keras sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Selang beberapa bulan ia sudah tak kuasa menahan rasa sakitnya. Kejadian itu menyisakan rasa sakit bagiku. Begitu pun bapak. Ia Renta. Tak sanggup lagi bekerja, tak berapa lama beliau pun meninggalkan hidupku sendiri. Sejak hari itu, setiap detil terasa semakin sulit bagiku untuk sekedar tersenyum. Impianku yang awalnya begitu tinggi mendadak terperosok, terpuruk menjadi angan angan yang membusuk. Tetapi, dengan mengingat kehangatan kasih orang tua seperti saat ini sedikit bisa menutup luka dihatiku.
Sebagai wanita desa yang mengadu nasib dikota, sudah sepatutnya aku bersyukur. Kehidupanku saat ini jauh lebih sejahtera ketimbang dulu. Meski upahku kecil, tapi paling tidak aku tak pernah lagi kelaparan. Aku ingat ketika bapakku sakit, ibuku kebingungan untuk sekedar membeli sekantung beras buat makan. Terpaksa kami mencari warung yang masih bisa dihutangi.
"Syukurilah apa yang ada.... " Begitulah bapakku selalu berpesan. Yah, setidaknya aku tidak jadi pengais belas kasih sayang seorang dermawan atau hidup sebagai gelandangan. Saat ini tak ada lagi yang ingin kulakukan. Satu-satunya waktu luang bagiku adalah senja sepulang kerja. Suasana kota nampak selalu ramai. Lalu lintas kendaraan terlihat berlalu-lalang disepanjang jalan lebar beraspal. tak ada tempat yang benar-benar kukagumi di kota ini, setiap halnya tak selalu indah untuk dikenang. Entah saat ini, aku yang terpejam merasakan silau dipelupuk mata. Menenggalamkan perasaanku dalam ketenangan. Sesuatu yang begitu jarang kurasakan. Sakit, sepi dan rindu yang aku rasa mengalir, tenggelam sejalan mentari senja. Tak dapat terlukiskan.
***
Sejak aku bekerja disini dua tahun lalu- Setiap aku menapak jalan di jembatan ini. Seorang lelaki muda selalu disini. Menerawang cakrawala senja. Seakan melepaskan diri menuju dunia tak terbatas. Saat ini, aku sangat merindukan bertatap dengannya. Entah darimana perasaan ini. Padahal, namanya pun aku tak tahu. Hanya saja, ia selalu menghabiskan senjanya di jembatan ini.
Senja disini terasa begitu hangat. Jembatan ini tak lagi ramai sejak beberapa jam lalu. Satu dua orang nampak mulai berpakaian rapi, menyusuri beberapa rumah dan pertokoan serta warung-warung yang sebagian besar sudah tutup. Suara adzan maghrib berkumandang, menuntun orang-orang yang akan sembahyang. Aku masih terheran dalam hati sembari menarik nafas panjang, "mengapa ia tak datang hari ini?"
Hari ini berbeda dari biasanya. Aku tak pernah pulang selarut ini. Paling telat ketika orang-orang sudah selesai sembahyang. Itupun kalau aku singgah sebentar untuk berbelanja. Perlahan aku membuka mata. Senja redup kini kian menggelap. Lampu penerang di pinggir jalan mulai menyala satu-persatu menandakan senja telah tenggelam. Lelaki itu tak ada. Aku berjalan ditengah malam yang membungkus. Lalu lintas yang sempat sunyi kini terlihat hidup kembali.
Rumahku sudah tampak di ujung jalan. Orang-orang mulai berkerumun di rumah makan yang terletak diseberang rumahku. Aku pun sering berkunjung kesana. Tetapi saat ini aku hanya ingin beristirahat. Akhirnya ada waktu sejenak bagiku untuk sekedar mengurangi lelah beberapa saat. Sebenarnya aku tak terbiasa singgah melihat mentari yang tenggelam. Terlelam diantara lautan menanti senja. Hanya saja lelaki yang selalu aku temui dijembatan itu tak ada disana.
***
Hujan baru saja reda menyisakan butiran air menyerupai kristal di etalase swalayan tempatku bekerja. Aku membungkusi beberapa kantung belanjaan seorang nenek bersama cucunya yang kira-kira berusia 7 tahunan . Nenek itu menyodorkan beberapa lembar sepuluh ribu rupiah kepadaku. Aku sedikit tersentak. Ia tersenyum padaku. Nampak garis kecantikan yang memudar diwajahnya. Ia membawa beberapa kantung belanjaannya lalu pergi sambil menuntun cucunya. Aku tertegun sejenak. Mentari semakin redup, sudah hampir senja. Seperti biasanya swalayan ini akan tutup sejenak. Swalayan ini sudah sepi tanpa pembeli. Hanya tersisa lelaki tua didepan etalase sedang melambai menanti angkutan. Belanjaannya tidak terlalu banyak, membuatnya sedikit mudah melambaikan jari sambil menghirup batang rokok yang tinggal setengah. Aku segera berkemas dan pulang.
Perjalanan pulang aku sempatkan untuk singgah di jembatan tempo hari, aku berharap lelaki itu ada. Aku ingin sekali sekedar berkenalan dengannya. Aku melangkah menyusuri jalan-jalan kecil. Aku mengambil jalan cepat dari biasanya. Meski harus beradu langkah dengan genangan air becek, di jalanan yang rapuh tak layak pakai. Perasaanku berdebar begitu hampir memasuki jembatan. Begitu sampai aku berhenti sejenak memandang sekeliling. Dimanakah dia? Jembatan begitu senyap membayangi jalanan dari siratan senja.
Ada seorang lelaki disana. Kudekati, sekedar untuk memastikan siapa dia. Terlihat sosok lelaki ini melamun, menatap penuh hangat ke arah garis cakrawala senja yang belum tenggelam. Itu dia! Aku merasa senang. Entah kenapa aku sangat menyukainya. Aku berjalan lebih mendekat disebelahnya. Tanpa fikir panjang aku langsung saja menyapanya.
."....?"
Dia tak bergeming. Aku sedikit kesal. Ia seakan tak merasakan keberadaanku. Seakan tak ada siapa-siapa disebelahnya.
"Cantik ya....? Pemandangan ini....." Aku tak mengerti, dia berkata sembari menoleh dengan tatapan tajam yang menusuk bola mataku. Lalu membuang kembali pandangannya kelangit senja.
Aku tak dapat menangkap makna tatapan tajamnya, hanya saja setiap yang aku fikirkan tentang dia selalu mebawaku pada ruang penuh penasaran. Siapa dia? Apa pekerjaannya? Begitu banyak pertanyaan sekedar tertelan begitu saja dilidahku yang tersendat. Ia menoleh lagi padaku. Sesaat aku mencoba menangkap tatapan matanya. Serasa sambaran kilat langsung menghujamku, merasuk ke syaraf dan otakku menggetarkan ketakutan yang menjalar dan meluap kesekujur tubuhku. Kurungkan segala pertanyaan difikiranku. Kutelan dalam-dalam kata yang tertahan dilidahku.
"Aku melihatmu kemarin, menyengkan bukan? Sungguh indah karya Tuhan ini. Manusia hampir tak lagi memperhatikannya.... Seandainya ada waktu, aku akan selalu menghabiskan senja disini." Kata-kata itu terngiang jelas seperti tape yang diputar berulang kali di lorong gendang telingaku.
Mendengarnya, aku sedikit tersadar akan sesuatu. Aku selalu sulit untuk bersyukur. Harusnya aku bisa tersenyum lebih lebar.
Pelangi berjejer harmoni diantara langit senja memberi kelembutan hangat yang terasa nyaman. Lelaki itu diam, tak lagi berkata. Ia tersenyum kepada laut. Bagaikan tersihir rasanya melihat senja tenggelam. Lelaki ini membawaku pada kenangan ketika didesa dulu. Serasa tak ada tabir waktu antara sekarang dan masa lalu. Kupejamkan mataku untuk mengingat wajah ibuku... Aku tak henti-hentinya berdo'a dalam hati.
Semilir angin berbisik, membuatku terbangun dari imajinasiku. Mentari senja sudah menghilang. Gema adzan mengalunkan nada yang sumbang bercampur merdu. Lelaki tadi menghilang??? Sejak kapan??? Aku baru menyadarinya. Lelaki itu menghilang bak ditelan bumi. Aku beranjak dari jembatan dengan penuh keheranan. Mengingat kembali detil kejadian barusan. Lima, bukan... Sepuluh menit aku melamun. Tak begitu jelas. Mendadak terlintas kata-katanya barusan "........Aku melihatmu kemarin". Tapi dia kan tak ada disini? Mungkinkah ia berada ditempat lain? pastinya disekitar sini. Aku menyusuri beberapa rumah di sekitar berharap menemukannya. Aku bertemu sekerumun orang, berkumpul disalah satu rumah sederhana. Beberapa orang menghirup asap rokok. Seorang lelaki menyambutku sambil mematikan puntung rokoknya. Asap rokok masih menyamarkan wajah lelaki berkopiah itu. Aku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Begitu mendengar penjelasan lelaki tersebut, aku lemas seketika. Hampir saja tersungkur. Seorang lelaki muda meninggal dalam kecelakaan djembatan itu kemarin. Lelaki yang aku kenal dan baru saja kutemui barusan. Memoriku seketika memutar ulang lembar-lembar ingatan pertemuan dengannya. Aku masih belum bisa percaya, tapi pertemuanku barusan memang terasa lebih ganjil lagi. . Para warga telah memulai do'a untuk lelaki itu.
Kata-kata lelaki itu masih terdengar sendu ditelingaku , ".......Seandainya masih ada waktu, aku akan selalu menghabiskan senja disini..."
Aku hanya bisa tersenyum ranum, mengingat kembali pesan indah untuk selalu bisa mensyukuri setiap nikmat, merasakannya sebagai pemberian terindah.
"...Seandainya masih ada waktu, aku akan selalu menghabiskan senja disini."

Aku Merindukanmu

kala sepi menyelimuti sendiriku kembali..... terlintas bayangan dirimu menyapaku lewat senyum dan tatap matamu.... shingga menghadirkan rindu akan kecantikan wajahmu manjamu senyuman mu dan jga tawamu Dalam hening yang menggelisah kan ku rangkai doa dengan segenap asa agar langkah ku tak terhenti di tengah jalan cinta agar terjaga putih nya khasih di antara kita Bulan...bintank...semakin menjauh jauh dari malam2 ku matahari...